MUNGKIN BUKAN JODOHKU


Usai mengikuti pengajian rutin disekolah tempat mereka mengajar.
“ Luna, gak biasanya kamu gini. Apa kamu sakit ? koq kelihatannya dari tadi melamun terus “ Tanya Rahmi sambil jalan menuju ke rumah.
“ seandainya kamu tahu apa yang ada dihatiku Rahmi, kau pasti gak akan terima ini…” gumam Luna dalam hati.
“ hallo….” Tegur rahmi membuyarkan lamunannya.
“ ha, oh,. Ehm… gak papa kok mi, oh ya gimana? tadi malam jadi kerumah Bu Zuraidah ?, trus gimana hasilnya ? “ jawab Luna mengalihkan pembicaraan.
“ sudah kubilang. Untuk sekarang ini, aku belum mau memikirkan hal itu. Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral, yang harus kita jalani dengan serius, karena itu bukan sementara, tapi untuk selamanya…” ucap rahmi sedih. Ia terus memikirkan ayahnya yang sakit – sakitan. Ia masih ingin terus mengurusnya. Ia tak tega kalau harus meninggalkannya. Sementara Bu Zuraidah, ketua yayasan mereka, ingin menjodohkan Rahmi dengan salah satu guru disitu.
“ Rahmi, aku ngerti kok perasaanmu. Tapi cobalah kamu istikharah meminta petunjuk kepada Allah. Kesempatan tidak datang dua kali. Pak Ferdhi sangat cocok untukmu. Dia seorang Da’i. Kami semua guru – guru disini mendukung..” ucap Luna membesarkan hatinya, sambil menghapus setetes air mata Rahmi yang tiba – tiba saja jatuh mengingat ayahnya yang sedang sakit. Mereka berhenti sesaat. Sebenarnya Luna tidak tega kalau harus merebut ferdhi dari tangannya karena Rahmi begitu akrab dengannya.
***

Malam itu.
Kepala luna sakit sekali, mengingat ucapan yang baru saja didengar. Ia menangis. Masih terngiang ditelinga ucapan ibunya.
“ Luna, kapan lagi kamu menikah…?, sudah dua adikmu yang melangkahimu, cepat – cepatlah kamu cari jodoh. Ibu sudah ingin menimang cucu dari kamu..”
Ia masih duduk terdiam ditempat tidur, melihat fhoto kekasihnya. Selaksa raut wajah dan tragedi itu terputar kembali mengenang masa lalunya.
Pesta yang megah telah digelar. Seratus undangan lebih telah tersebar. Tapi bukannya mempelai laki – laki yang datang, malahan seorang lelaki berkumis tebal, berbaju seragam cokelat dan bertitel, datang dan menanyakan kejelasan KTP yang diberikan. Korban kecelakaan lalu lintas.

Gaun kebaya yang masih melekat, menjadi saksi perpisahan mereka dirumah sakit. Sang calon suami hanya diam terbujur lemas bersanding infus dan hirupan oksigen yang melekat di wajahnya. Ia mengejar dokter usai proses operasi. Namun dokter berkata, “ hanya ini yang sanggup kami lakukan. Tuhanlah yang menentukan segalanya. “ ucap dokter itu sedih penuh penyesalan. Mendengar itu, perasaan bahagia dan cinta yang telah terbangun lama, kini roboh berserakan. Jilbab yang anggun, tak lagi tertata rapi oleh sedihnya. Lututnya melantai. Derai air matanya tak kunjung henti. Dalam hati ia ingin berteriak, ya Rabb…. Kenapa kau timpakan ini padaku?

Sepertiga malam ia habiskan untuk bermunajat kepada Allah swt. Ia terus menangis, memohon pada yang Kuasa, agar dimudahkan jodohnya. Sebenarnya beberapa calon telah ditawarkan kepadanya. Ada yang pengusaha, PNS, angkatan, bahkan ada yang ingin melamarnya seorang konglomerat. Namun semua itu ia tolak. Apalah artinya harta yang melimpah apabila tidak dilandasi keimanan dan ketaqwaan yang dapat mengokohkan bahtera rumah tangga. Semua itu ia tuangkan dalam diary mungil, selepas tahajjudnya.
***

Fajar sidik mulai membangunkan sang mentari dari peraduannya. Selesai sholat subuh, ia tidur kembali.
“ Luna, kamu gak ngajar ?, sekarang sudah jam delapan..” ibunya membangunkan dengan lembut.
“ astaghfirullah…” ucapnya tersentak saat mendengar jam delapan. Langsung ia berberes dan mempersiapkan segala sesuatunya. Bukupun asal sahut saja tanpa melihat – lihat lagi yang mana yang akan diajarkan nanti.
***

Ferdhi tiba di sekolah telat. Ia melihat Madrasah sepi. Beberapa orang tua menggandeng tangan anaknya kembali pulang.
“ kenapa pulang bu?” Tanya ferdhi penuh penasaran, sambil memarkir sepeda motornya dan melepas helm dari kepalanya.
“ lho kok Bapak gak pergi?, ayahnya bu rahmi sekarang sedang kritis di rumah sakit. Semua guru menjenguk kesana. Anak – anak hari ini diliburkan.” Jawab orang tua murid.

Ferdhi langsung balik arah menuju rumah sakit. Tapi ketika ia sampai disimpang, angkot warna putih berhenti didepannya. Luna turun tergesa.
“ Bu Luna.. ,” panggil Ferdhi mengejutkan.

Baru saja Luna membayar ongkos pada pak supir.
“ ada apa pak?” Tanya Luna heran. Jarang sekali Ferdhi mau ngobrol dengan rekan guru akhwat. Kecuali ada sesuatu hal yang sangat penting. Dengan singkat ferdhi memberitahukan kabar yang ia dapat. Merekapun bergegas ingin pergi ke rumah sakit. Luna sangat segan dan ragu, ingin minta bonceng. Begitu juga ferdhi. Ia sangat menjaga hijab. Mungkin ia lebih baik memberikan sepeda motornya untuk luna kendarai, daripada harus memboncengnya.
“ Bu Luna naik angkot saja ya?”
“ ya pak. Gak papa, Bapak duluan saja. Nanti saya menyusul. “

Madrasah sunyi. Semua murid – murid sudah dijemput oleh orang tuanya. Ada juga yang pulang sendiri karena rumahnya dekat. Ferdhi tidak tega harus meninggalkannya luna sendirian. Iapun menunggu Luna sampai dapat angkot. Satu setengah jam mereka menunggu angkot. Tetap tak tampak melintas. Angkot lintas ke madrasah memang sangat jarang. Satu – satu. Apalagi kalau sudah jam delapan keatas. Tidak ada sewa. Para pekerja dan pelajar sudah berada ditempatnya masing – masing. Angkot – angkot itu juga menunggu sewa diterminal sampai penuh, baru mau berangkat.
Mereka resah. Entah apa yang sudah terjadi dirumah sakit sana. Mereka ingin segera kesana. Ferdhi juga bingung. Satupun becak juga tak ada yang muncul. Kalaupun ada, sudah berisi kian penumpang yang ia bawa dari tempat mangkal. Mentari semakin meninggi.

Mereka tidak mungkin melama – lamakannya. Saat darurat, segala sesuatu yang tidak boleh menjadi boleh. Gak mungkin ferdhi meninggalkan Luna sendiri ditempat yang sepi. Ferdhi mempersilahkan Luna naik disepeda motornya. Mereka segera meluncur. Ferdhi cukup tangkas menerobos mobil – mobil besar yang mengangkut pasir dan batu.
Luna juga tahu batas. Tidak seperti remaja sekarang pada umumnya. Gak tahu malu. Boncengan dengan bukan muhrimnya. Memeluknya layaknya suami istri. Bahkan mungkin suami istripun malu melakukan itu ditempat umum. Dasar zaman edan !!

Dus, mereka sampai dirumah sakit. Sejurus kemudian, mereka menemui guru – guru lainnya yang telah lama berada disana. Keluarga Rahmi berada didepan ruang gawat darurat. Spontan Bu Zuraidah mendekati Ferdhi dan menggiringnya ke sudut ruangan.
“ Pak Ferdhi, mungkin hanya Bapak yang dapat menyelamatkan ini. Rahmi sedari tadi pingsan belum siuman. Ia sangat takut ayahnya meninggal. Dari sekian orang saudaranya, hanya Rahmi-lah yang paling disayang oleh ayahnya” ucap Bu Zuraidah penuh pengharapan dan sedih. Ia melanjutkan..
“ sebelum ayahnya sakit, ayahnya berpesan bahwa ia ingin melihat Rahmi menikah sebelum ia pergi…, entah apa maksudnya. Tolonglah Pak Ferdhi, Rahmi orangnya ta’at, ia sabar dan sebentar lagipun akan diwisuda. Cocok untuk jadi da’iah pendamping pak Ferdhi”, jelasnya runut, mendesak penuh harapan. Wajahnya memelas.

Sebenarnya telah lama juga Ferdhi jatuh hati pada Rahmi. Ia beda dengan guru – guru yang lainnya, yang hanya memakai jilbab dan rok saat mengajar saja. Bahkan rahmi sering ikut pengajian rutin ibu – ibu arisan yang diisi oleh Ferdhi. Jilbabnya yang menjulur lebar, baju gamisnya yang longgar dan panjang, mampu menusuk hati Ferdhi bagai panah asmara. Seketika itu juga Bu Zuraidah mengurus tuan kadi dan mahar yang ala kadarnya. Asal ini berlangsung.

Sementara itu, Luna terus mengipasi Rahmi yang tengah pingsan di ruang tunggu dengan buku yang asal cabut dari tasnya. Tapi tiba – tiba saja tangan Luna di tarik oleh salah satu guru yang lain, sebentar keluar. Kondisi ayah Rahmi semakin parah. Buku yang dipakai luna untuk mengipas, tertinggal disamping Rahmi yang mulai sadar.
Tanpa sengaja rahmi membuka buku itu. Wangi penuh hiasan stabilo dan tinta warna. Itu buku diary Luna. Ia buka halaman terakhir…

Jum’at, 22 januari 2010
Pukul 03: 15
……..
“ ya Rabb, seandainya aku boleh menjual diriku, akan kuberikan seluruh jiwa dan ragaku untuknya seorang. Aku mencintainya karena keimanan dan ketaqwaannya. Namun aku tak mau menjadi pagar makan tanaman. Biarlah pak Ferdhi bahagia dengan Bu Rahmi.
Rabbighfirli ala kulli dzunubi..
***

Semua berkumpul diruang UGD. Termasuk Rahmi yang dibopong masuk oleh guru yang lain. Bu Zuraidah sudah mengkonfirmasikan ke dokter yang menangani ini. Iapun mendapat izin.
“ayah !! bangun ayah. Sekarang Rahmi akan penuhi permintaan ayah…” ucapnya sesenggukan dengan terus mengharap jawaban. Air matanya tak terbendung. Tuan kadi, Ferdhi, Bu Zuraidah, Luna dan rekan guru lainnya juga cemas. Namun jawaban yang keluar, lain dari apa yang diharapkan.

Titttttttt……
Gambar gelombang deteksi jantung dilayar monitor bergaris lurus. Innalillahi wa inna lillahi roji’un…
Suasana haru pilu berkelebat dalam ruangan itu. Ferdhi, Luna, Bu Zuraidah, tuan kadi, rekan guru dan beberapa suster yang direncanakan akan jadi saksi nikah, melihat Rahmi yang tengah sedih tak karuan. Ia memeluk ibunya dan terus menangis. Tak ada yang berani mengusik mereka.

Cepat – cepat Ferdhi membenahi posisi ayahnya. Mengatur perlengkapan mayat seadanya. Sementara Bu Zuraidah menyelesaikan administrasi rumah sakit agar jenazah ayahnya cepat dibawa pulang. Tapi Luna, ia hanya bisa melihat sosok sahabat karibnya tengah berkabung. Kasihan. Dalam beberapa minggu ini Rahmi terus sedih memikirkan ayahnya.

Luna mendekati Rahmi. Ia memeluknya. Sesaat hanyut dalam kesedihan.
“mi, kamu harus ikhlas ya. Semua ini sudah kehendak yang kuasa..” ucapnya berusaha menyeka air mata Rahmi dipipinya.
Setelah selesai memposisikan jenazah, Ferdhipun menghampiri mereka. Ia memberi semangat agar terus positif menatap hidup ke depan. Namun semua itu tetap tak dapat melunturkan kesedihan rahmi. Tatapan matanya kosong. Fikirannya buntu. Tapi entah kenapa, saat melihat mereka berdua, ia jadi teringat dengan tulisan yang sempat ia baca di diary Luna tadi.
“Setidaknya aku bahagia melihat kalian berdua bahagia” ucap Rahmi yang tiba – tiba bereaksi. Ia menarik tangan Luna dan Ferdhi yang beralaskan baju kokonya. Begitu juga saat disatukan. Tangan Ferdhi diletakkan ditangan yang berbalut gamisnya. Luna masih bingung
“aku sudah membaca buku diary mu na, aku ingin kalian menikah”. Lanjut Rahmi pasrah. Semua yang mendengar bergetar heran dengan keputusan rahmi. Bu zuraidah menatap penuh kebimbangan. Bahagia dalam pilu. Dua sahabat yang saling mencintai karena Allah. Didepan rahmi, tuan kadi menjalankan prosesi akad nikah untuk Luna dan Ferdhi. Sungguh mulia hati Rahmi. Disaat kekalutannya ia masih bias memikirkan orang lain.
Tahajjud luna tak sia – sia. Allah tidak tidur. Ia maha tahu isi hati hambanya. Dan cintapun merebak dengan ikhlasnya.

TAKDIR ILLAHI


Heru adalah pemuda yang taat beragama apalagi kepeda kedua orang tua. Ia sangat menghormati siapapun. Ameskipun ia masih sangat muda, namun Ilmu agama yang ia miliki tidak kalah dengan ustad. Maklum saja, dia adalah pemuda jebolan pesantren. Namun demikian dia sama sekali tidak memperlihatkan ilmu yang ia miliki sedikitpun, apalagi di panggil ustad, dia tidak mau. Dia tetap rendah hati dan tidak sombong sama sekali. Malah dia cenderung menyembunyikan Ilmu yang ia miliki. Kehidupannya pun sederhana. Sehari-hari dia mengais rizki dari bengkel kecil di rumahnya. Tidak seperti orang pada umumnya, dia tidak bingung dengan apa yang akan dimakan besok jika bengkel sedang sepi. Bagi saya cuma satu kalimat ungkapan untuk dia “pemuda idaman setiap wanita”. Bagaimana tidak, sudah pintar, sederhana, soleh lagi. Wah benar-benar perfect.

Meski begitu ia memiliki teman dari berbagai kalangan. Ia juga tidak membeda-bedakan siapapun dalam berteman. Sampai suatu hari salah seorang temannya, sebut saja Udin, akan menikah. Udin meminta dia untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya. Dia dan Udin memang sudah  seperti saudara. Orang tuanya Udan juga sudah menganggap Heri seperti anaknya sendiri. Heri juga diperkenalkan dengan calon istrinya Udin. Dyah namanya. Gadis berjilbab yang cantik dan solihah.

Dan merekapun mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Udin. Mulai dari akad nikah, resepsi, persewaan perlengkapan, juga undangan tentunya. Tak seharipun mereka lalui tanpa bersama saat proses persiapan pernikahan ini. Persiapan sudah hampir rampung. Hanya tinggal menyebar undangan saja.

Namun kali ini Udin sendirian tanpa ditemani Heri. Saat perjalanan menuju rumah saudaranya, sesuatu tak terduga terjadi pada Udin.
“Bresss…”, kecelakaan menimpa Udin.
“kring..kring..kring..,  nada dering handphone Heru pun berbunyi.
“Assalamu’alaikum..”, belum sempat Heru bertanya dari siapa telepon ini, sambil serius mendengarkan orang yang menelepon, tiba-tiba terucap oleh mulut Heru, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Ternyata itu adalah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa sahabat karipnya itu kecelakaan. Tanpa pikir panjang Heru langsung tancap gas menuju rumah sakit.

Di saat pernikahan sudah di depan mata, Udin justru meregang nyawa. Kondisinya kritis karena kehilangan banyak darah. Keluarga berkumpul. Semua usaha telah maksimal dilakukan oleh dokter. Hanya do’a yang tersisa.

Pada saat-saat terakhir Udin ingin mengatakan sesuatu yang mungkin itu adalah permintaan terakhirnya. Dokter pun mempersilakan Heri untuk masuk. Namun hanya Heri dan Dyah yang diminta Udin untuk masuk. Tak lama kemudian Heri dan Dyah keluar. Sementara Dyah tak kuasa menahan tangis, untuk yang kedua kalinya terucap kata dari mulut Heri, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Tangis Dyah semakin pecah dan seluruh keluarga pun tak dapat menahan sesuatu yang memaksa keluar dari mata mereka. Suasana yang semula penuh kebahagiaan, kini berubah menjadi mendung.

Tujuh hari penuh selepas pemakaman, keluarga beserta para tetangga menggelar tahlilan dan di,a bersama yang ditujukan tentu saja untuk Almarhum Udin. Dyah masih belum bisa mengikhlaskan kepergin calon suaminya itu. Entah apa yang harus Dyah dan keluarganya lakukan. Undangan telah tersebar. Dua minggu lagi akad dan resepsi seharusnya digelar. Namun mereka hanya bisa berdo’a kepada Illahi Robbi, agar diberikan ketegaran atas musibah ini.
Rupanya Alloh menyimpan takdir lain untuk mereka semua…

Setelah usai 7 hari tahlilan, Heru baru berani untuk mengatakan pesan terakhir yang disampaikan oleh Almarhum Udin. Heri pun mengumpulkan keluarganya, keluarga Almarhum Udin, dan keluarga Dyah. “Ada apakah gerangan kau mengumpulkan kami semua, nak?”, Tanya ayah almarhum.
“Sebelumnya saya mohon maaf karena mengumpulkan kalian tidak pada waktu yang tepat. Ada yang harus saya sampaikan. Ini mengenai pesan terakhir yang disampaikan almarhum kepada saya.”, jelas Heru.
“Baiklah, lanjutkan ceritamu!”,ayah Dyah menyambung.
“Sesaat sebelum Alloh memangggilnya, ia berkata padaku ingin menyampikan sebuah amanah untukku. Bahwa aku harus menjaga calon istrinya dan menggantikan posisinya dengan kata laun aku yang harus menikahi Dyah. Dan Dyah pun tahu akan amanah ini.”, jelas Heru dengan lebar.
“Benarkah itu Dyah?”, Tanya ibunya.
“Benar, Bu….”, jawab Dyah sambil menahan air mata.
“Subhanalloh…. Ini adalah amanah yang wajib kau laksanakan, nak. Insya Alloh kami semua ikhlas karena ini adalah permintaan almarhum yang sudah kau anggap saudaramu sendiri. Bukan begitu Pak, Bu?”, jelas Ayah almarhum.
“Iya, kami semua ikhlas dengan amanah ini. Kami yakin ini semua adalah rencana Alloh untuk kalian juga semua yang ada di sini.”, jawaban Ibu Dyah ini didukung oleh anggukan setuju dari semua keluarga. “Alhamdulillah, Alloh telah menunjukkan Kuasa-Nya. Kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan, tapi Alloh jualah yang menetukan. Laksanakanlah amanah ini, nak!”, Perintah ayah Heru.
“Subhanalloh, Insya Alloh saya akan melaksanakan amanah ini. Bagaimana denganmu Dyah, maukah kaumenerimaku sebagai pengganti almarhum?”, Tanya Heru.

Tanpa berkata, Dyah hanya mengangguk seraya tersenyum haru.
“Alhamdulillah…..”, seluruh keluaraga memuji Asma Alloh dengan nafas yang lega.
Hari yang ditunggu telah tiba. Heru mengucap ijab qobul dengan lancer. Seluruh keluarga tersenyum haru. Namun banyak raut muka yang menyimpan tanda tanya akan kejadian. Tapi tidak jadi masalah, karena ini sudah menjadi takdir Allah.

CINTA LAKI-LAKI BIASA


Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***

Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat.

KETIKA TAKDIR MENGUJI CINTA


DUBRAK…” banting pintu kamar kost nya.
Hari yang melelahkan..” getar bibirnya pelan.

Sejurus ia langsung nyalakan AC kamarnya. ia campakkan tas kerjanya, ia rebahkan badannya..Wusss… angin sejuk langsung menampar tubuhnya. Ia lihat jam di dinding, masih jam empat, masih ada satu jam lagi. Ucapnya pelan.

Ia baringkan badannya dikasur, ia hendak istirahat sejenak sebelum berangkat kuliah, rencana hatinya. Karena baginya waktu sangat bermanfaat dalam hidupnya, aktivitasnya cukup sibuk, pagi ia bekerja, sore hari ia kuliah. Ia bekerja di sebuah perusahaan cukup besar di kota dumai itu, penghasilannya lebih dari cukup, maka dari itu, untuk sekolah adiknya, ia yang mengambil alih.
            Ti dit…ti dit…
            Tidurnya terganggu dengan dering HP nya.
Ada sms masuk, ucap batinnya. Ia baca’”
          
            Ass.. mas Irul.. sebelumnya aku
            Mohon maaf beribu maaf mas..
            Dalam keputus asaanku. Aku ingin
            Mengabarkan bahwa aku akan
            Menikah esok hari.
            Allah mentakdirkan lain.
            Doakan aku ya mas…

 Spontan ia kaget, ia bingung, ada apa yang terjadi dengan Luna. Tanya batinnya. Luna adalah pacarnya, cinta yang ia jalin hampir tiga tahun itu, tiba tiba hancur berkeping keping, tak tahu apa penyebabnya, padahal baru bulan kemaren ia mengunjungi Luna dan keluarganya. Semua berjalan lancar penuh dengan canda tawa.

Ia coba telpon, tenyata tidak aktif. Ia coba kembali, tetap masih nada yang sama. Ia bangkit dari kasurnya, semula jadwalnya hari itu hendak kuliah, sementara waktu ia batalkan dulu.

Hatinya masih risau dan bingung, sekejap mata ia langsung tancap gas menuju rumahnya Luna, dengan mengendarai sepeda motornya, ia melaju membelah jalan       dengan hatinya bertanya Tanya.

Ya Rabb… apa yang terjadi ya rabbi. Rintih hatinya bingung.
Di jalan, ia melaju dengan kecepatan tinggi, ia ingin tahu segera, gerangan apa yang terjadi dengan pacarnya. Baru bulan yang lalu ia merencanakan bersama keluarganya luna untuk melamar Luna setelah kuliahnya selesai, hanya tinggal menunggu skripsinya selesai saja baru ia akan wisud
Setelah sampai didepan rumah Luna, ia langsung memarkirkan sepeda motornya, jarak rumah luna cukup jauh dari tempat kostnya,            Tok…tok…tok… assalamu’alaikum. Sapanya sambil mengetuk pintu. Ia tunggu sejenak, belum ada jawaban, ia ulangi tok..tok..tok…assalamu’alaikum..
            Wa’alaikum salam, pintunya terbuka, ternyata ibunya Luna,
Sore bu.. maaf menggangu.. Lunanya ada bu… sapanya ramah.
            Eh… nak irul, silahkan masuk dulu nak...jawab ibunya luna sambil mempersilahkan masuk. Terima kasih bu…
            Ia tatap wajah ibunya luna, ada kegelisahan dan kesedihan yang mendalam tergambar dari raut wajahnya, mukanya terlihat pucat melihat irul yang datang. Hatinya semakin bingung.
            Luna nya ada bu…? Tanya penasaran..
Ibunya luna diam menunduk sesaat… Lu..luna pergi ke pekan baru bersama ayahnya nak irul. Emang nak irul tidak diberi tahu luna..? jawab ibunya dengan getar bibir terbata bata.
            Justru itu bu.. aku ingin menanyakan perihal apa yang terjadi dengan luna,,? Tiba tiba aku mendapat sms dari luna…? irul menjelaskan maksud kedatangannya.
            Tiba tiba mata ibunya luna berkaca kaca dan menunduk diam sesaat. Ada kepedihan dalam batinnya, suasana ruangan itu menjadi hening, hati irul semakin bingung bercampur gelisah,
            Bu… apa yang terjadi dengan luna bu..? Tanyanya memecah keheningan.
Ma…maafkan kami nak irul.. maafkan kami.. takdir Allah lah yang berkuasa. Jawab ibunya luna dengan terbata.
            Sebenarnya..apa yang terjadi bu..?
            Ba…baiklah.. ibu coba menjelaskan semua, kami telah menerima kuasa takdir Allah, se..sebenarnya yang terjadi adalah bermula saat luna seminar di pekan baru. Dua hari setelah nak irul datang bulan kemaren kesini. Luna minta izin mengikuti seminar itu. Kampusnya luna mengirim utusan dua orang untuk mengikuti seminar itu. Luna salah satunya, seminar IPTEK itu diadakan pemko pekan baru. Ia berangkat bersama Indra teman kampusnya, indra adalah anak ketua yayasan kampusnya luna, seminar itu berlangsung dua hari. Kampusnya luna memberikan fasilitas dua kamar hotel untuk menginap. Tiba tiba suara ibunya luna terhenti dan tangisnya semakin menjadi jadi.
            Dengan perasaan gelisah hati irul menebak nebak apa yang terjadi.
Tenang bu..” sabar bu..
            Tangis ibunya luna diam sesaat, ia coba menerima realita yang ada, lalu ia melanjutkan,
            Sepulangnya luna dari pekan, wajah luna tampak pucat, kami coba menanyakan ada apa dengannya. Ia tak mau cerita, tetapi kami coba merayu dan memaksanya. Dengan hati menjerit dan berlinang air mata, ia menjelaskan,, bahwa ia .. bahwa ia … Dijebak dan DIPER**SA oleh indra. Tiba tiba tangis ibunya luna kembali meledak, air matanya mengalir deras, Ternyata…. indra telah lama menyukainya. ia mengetahui bahwa luna akan segera dilamar nak irul. Maka itu, dalam kesempatan adanya seminar itu, ia minta kepada

Hati irul pedih, langit seakan runtuh ia rasa. Matanya berkaca kaca, badannya kaku serasa lumpuh, bibirnya

Kami pihak keluarga telah sepakat untuk menikahkan luna dengan indra. Maafkan kami nak irul..maafkan kami….Ibunya luna mengakhiri penjelasannya.

Suasana jadi mencekam, hati irul seakan ingin meledak, wajahnya menunduk, ada yang menetes dari matanya. Ia tidak kuat untuk menahan perasaannya. Ia langsung pamit,,
Ass…assalamu’alaikum bu. Saya pamit, sampaikan salam tegarku buat luna. 

Dalam perjalanan pulang bibirnya terus bertasbih, hatinya remuk, matanya terus mengalirkan sesuatu. Pernikahan yang ia rencanakan gagal, wisuda yang ia tunggu tunggu sebagai awal puncak kesuksesan masa depannya, terasa tak bermanfaat lagi. Luna adalah  gadis cantik dan jelita, pujaan hatinya itu telah terbang dibawa seekor elang yang rakus tak bermoral.

Sesampainya dikamar kostnya. Ia menangis sejadi jadinya.. ia meratap kepada tuhannya, ia mohon diberi kekuatan dan ketabahan, ia larut dalam kesedihan, tiba tiba suara adzan maghrib berkumandang ia dengar. Panggilan tuhan merasuk dalam batinnya.

Dengan berlinang air mata ia mencoba tegar menghadapi kuasa Allah itu. Ia wudhu’, ia bentangkan sejadahnya, ia bertakbir.

Usai sholat, ia munajat kepada rabbnya. Ia bertafakkur, ia roboh bersujud dihadapan takdir Allah. Ia utarakan kegundahan hatinya. Ia berharap diberikan cinta diatas cinta.

 Enam bulan telah berlalu, dengan hati yang tegar ia selesaikan kuliahnya. Kini ia akan meraih gelar S1 nya. Namun dari hari kehari bayangan luna masih saja hadir dalam benaknya. Tanpa kabar, tanpa pertemuan, dan tanpa penjelasan terakhir dari bibir luna. setelah hari yang pahit itu. Ia coba menata kembali masa depannya.

Di hari wisudanya itu. Sengaja ia panggil ibunya dari kampung untuk mendampinginya. Senyum ibunya itulah yang membuat ia cukup terhibur menghadapi hari yang ia tunggu tunggu dulu. Hari yang semula ia rencanakan untuk melamar luna. tapi keadaan berubah. Dengan bantuan Allahlah ia sanggup menghadapi semuanya.
Tiba tiba suasana Aula gedung itu bertasbih. Acara wisuda heboh dengan kedatangan sosok bidadari yang anggun jelita. Mata semua lelaki memandang kearahnya. Ia menoleh. Subhanallah…” batin nya bertasbih. Sosok itu adalah luna. wajahnya yang dibalut jubah dan jilbab putih itu seakan membuat ia seperti bidadari yang baru turun dari langit.

Hatinya berdesir, jantungnya berdegup kencang. Sama seperti rasa pertama kali ia berjumpa dengan luna dulu. Alangkah beruntung orang yang menikahinya..” Batinnya mengupat..

Astaghpirullah…ia sudah menikah,, aku haram memikirkannya. getar bibirnya menepis perasaannya,
Ibunya tersenyum melihat perubahan pada anaknya. Apa lagi rul..” kamu udah pantas menikah.. kerjaanmu sudah mapan, sarjana pun sudah ditangan, semua para ibu ibu ingin bermenantukan kamu. Canda ibunya, karena ibunya tidak tahu dengan apa yang terjadi, ia hanya balas dengan senyuman. Tunggu aja bu.. pilihan Allah. Jawabnya.
Ternyata luna menghampirinya .
Assalamu’alaikum..Selamat ya mas… aku datang bersama ibu ingin melihatmu. Sapa luna dengan senyuman malu.
Wa’alaiku salam… terima kasih..ibu mu mana dan ….
Dan.. apa mas…? potong luna. Seakan luna sudah mengetahui maksud nya.. Oh ya.. kedatanganku kali ini hanya untuk menyampaikan maafku saja kok mas…dan menjelaskan apa yang terjadi padaku selama ini. Sekaligus menebus ketidakberdayaanku mas. Lanjut luna dengan wajah menunduk dengan matanya menetes kan sesuatu.
Belum sempat bertanya lagi, irul diajak luna bicara empat mata. Luna hendak menjelaskan sesuatu hal yang penting seperti yang ia tunggu selama ini.
 Baik lah.. kita ke depan mushollah saja.
Dengan air mata yang terus jatuh, luna coba menenangkan diri.
Ia menjelaskan apa yang terjadi selama ini.

Mungkin mas… telah diberi tahu ibu kejadian yang menimpaku. Tetapi semua itu berubah, ternyata takdir Allah berubah lagi. aku terus berdo’a kepada Allah, agar diberi kekuatan untuk menjalani hidup.

Umur pernikahanku dengan lelaki itu hanya bertahan satu minggu, setelah acara pesta pernikahan kami di pekan baru usai, tanpa melalui malam pertama ia lebih memilih merayakan pesta kemenangannya bersama teman temannya, pada malam itu ia bersama komplotannya merayakan pesta narkoba, dan naas, malam itu juga ia over dosis dan dibawa kerumah sakit, 1 minggu ia koma tak sadarkan diri, lalu ia tewas, aku hanya melihat proses kuasa Allah itu dengan bersyukur, Allah maha tahu penderitaan hambanya. Maka dari itu mas… Allah sedang menguji diriku.. statusku sekarang janda mas.. jelas luna panjang lebar dengan hati tegar.
Jadi ..? Ucap irul ceplos sambil melihat kondisi Luna.

Oh ya… aku sekali lagi bersyukur kepada Allah, Setelah seminggu kematian brengsek itu, aku memeriksakan diri ke dokter. Ternyata kesucianku masih utuh. Brengsek itu hanya menjebakku agar ia punya alasan untuk menikahiku. Begitu lah kisah hidupku mas… Allah masih menyayangiku..

Mendengar semua penjelasan itu, hati irul berdesir, setetes embun masuk ke dalam batinnya. Ternyata ujian Allah telah berakhir. Ia bertakbir dalam hati. Ia hendak langsung melamar luna hari itu juga.

Tangisan Pertama Membawa Cahaya


Malam yang dingin itu, lutfi masih saja asyik dengan kebiasaan lamanya. Mabuk mabukan, judi dengan ditemani wanita seksi, sudah biasa dalam kehidupannya. Disaat semua orang terlena dengan mimpi mimpi tidurnya, ia malah makin nikmat dengan permainan maksiatnya.

Tiba tiba hp nya berdering tanda sms masuk.
Sebentar kawan…ucap lutfi.
Segera pulang,
istrimu sedang dirumah sakit,
ia akan melahirkan.

Spontan ia terkejut. Lalu bergegas menghidupkan sepeda motornya. Sampai dirumah sakit. Mertuanya langsung menyemprot nya dengan bumbu bumbu ceramah. Ia tak ambil pusing, segera saja ia bertanya kepada dokter tentang keadaan istrinya.

Lutfi memang termasuk bandit. Semua orang mengetahuinya. Tetapi ia tidak bisa menghilangkan rasa cintanya pada sang istri yang begitu sabar menghadapi sifat bejatnya.

Pernah suatu ketika, ia tertangkap oleh polisi dan dipenjara beberapa bulan. Hanya istrinya yang selalu setia menjenguk dan membawakan makanan ke penjara. Guna menjaga gizi sang suami tercinta. Itu terjadi pada saat bulan kedua pernikahannya.

Dok. Gimana kondisi istriku…” Tanya lutfi pada dokter.
Tenang pak.. istri bapak besok akan segera kita operasi. Air ketubannya sudah kering. Sekarang kita bantu dengan infus, kita akan persiapkan semuanya. Tolong pak, diurus administrasinya”. Jelas dokter.

Baik pak.. saya minta tolong pak, berikan yang terbaik untuk istri saya..”.

Melihat suasana itu, mertuanya terlihat luluh, memang lutfi dikenal masyarakat sebagai pemuda yang brandal, mungkin karena umurnya yang masih muda, tetapi didalam relung hatinya, ia sangat mencintai istrinya.
* * * * 

Didepan kamar operasi, keluarga dan tetangga dekat telah menunggu apa yang akan terjadi. Tiba tiba pintu ruang operasi terbuka, setelah dua jam mereka menunggu.
Siapa ayahnya,,” suara perawat memecah kerisauan.
Saya mbak..” jawab lutfi spontan.
Selamat pak,,,” anak bapak laki laki.. ucap suster.
ALHAMDULILLAHHHH”. Teriak serentak diruangan itu.
“ Istri saya gimana mbak…
“ Tenang pak,,lagi dalam pemulihan, ia tak apa apa. Masih dalam efek bius. Lebih baik bapak ikut saya keruang incubator, biar sikecil langsung di azankan. Jelas mbak perawat.
Azan”..teriak halus bibirnya.

Seketika mendengar seruan untuk mengazankan anaknya. Sontak kaki lutfi kaku bagai tak ada refleks untuk bergerak. Ia diam membisu, bibirnya gemetar, ia bingung dengan apa yang terjadi. Keluarga yang melihat kejadian itu, tidak begitu kaget, karena lutfi dikenal sebagai sosok yang tak tahu soal agama.

Sholat aja tak pernah apalagi bacaannya”. Celetuk bibir usil salah satu keluarga.
“ Ba…baik mbak..” jawab lutfi terbata.

Di ruang incubator, lutfi mengumandangkan azan ditelinga kanan putranya. Ia memang tak pernah sholat, tapi ia sering mendengar suara azan berkumandang di mesjid dekat rumahnya. Ia masih ingat nada nada seruan sholat itu, walaupun tidak tau artinya tapi ia ingat betul urutannya.
“ ALLAHU AKBAR…ALLAHU AKBAR..”
“ LAAILAHAILLALLAHU..”

Keluarga yang sedang penasaran ingin melihat sang bayi, tepat didepan pintu ruang incubator terkejut, heran, kagum, haru, menyaksikan suasana itu. Bisa juga ya… anak itu azan”. Celetuk bibir ibu mertuanya.

Lutfi yang terdiam kaku melihat wajah bayi mungil itu, tak terasa matanya basah meneteskan air bening hingga membasahi pipinya, kakinya kaku bagai dipasung, badannya oleng tak seimbang hingga akhirnya ia roboh, membentuk posisi sujud kepada Rabb nya. Ia bingung dengan kondisi dirinya.
“ apa yang terjadi…lirih hatinya kebingungan.

Keluarganya diluar lebih kaget melihat lutfi dengan posisi sujud itu. Adik ipar yang hendak masuk untuk menolong abang iparnya itu dilarang pak mansyur tetangga lutfi yang ikut menjeguk.

Biarkan saja, hidayah ALLAH sedang berproses pada dirinya. Jawab pak mansyur, takmir mesjid dekat rumahnya.

Keluarga, tetangga dan para penjeguk dari teman temannya, haru terdiam melihat suasana itu. Malah ibu mertuanya menangis menyaksikan peristiwa itu.

Lutfi masih sujud, air matanya sudah menggenangi lantai ruangan itu. Sudah sepuluh menit ia dibiarkan begitu, tubuhnya yang masih lemas tiba tiba bangkit mendengar tangisan putranya, seakan putranya tahu kondisi ayahnya. Dan menangis memecah suasana. Tangisan itulah yang membawa cahaya bagi hidupnya.



Siti Masyitoh


“Apa, di dalam kerajaanku sendiri ada pengikut Musa?” Teriak Fir’aun dengan amarah yang membara setelah mendengar cerita putrinya perihal keimanan Siti Masyitoh. Hal ini bermula ketika suatu hari Siti Masyitoh sedang menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisir itu terjatuh, seketika Siti Masyitoh mengucap Astagfirullah. Sehingga terbongkarlah keimanan Siti Masyitoh yang selama ini disembunyikannya.

“Baru saja aku menerima laporan dari Hamman, mentriku, bahwa pengikut Musa terus bertambah setiap hari. Kini pelayanku sendiri ada yang berani memeluk agama yang dibawa Musa. Kurang ajar si Masyitoh itu,” umpat Fir’aun.

“Panggil Masyitoh kemari,” perintah Fir’aun pada pengawalnya. Masyitoh datang menghadap Fir’aun dengan tenang. Tidak ada secuil pun perasaan takut di hatinya. Ia yakin Allah senantiasa menyertainya.

“Masyitoh, apakah benar kamu telah memeluk agama yang dibawa Musa?”. Tanya Fir’aun pada Masyitoh dengan amarah yang semakin meledak.
“Benar,” jawab Masyitoh mantap.

“Kamu tahu akibatnya? Kamu sekeluarga akan saya bunuh,” bentak Fir’aun, telunjuknya mengarah pada Siti Masyitoh.
“Saya memutuskan untuk memeluk agama Allah, maka saya telah siap pula menanggung segala akibatnya.”

“Masyitoh, apa kamu sudah gila! Kamu tidak sayang dengan nyawamu, suamimu, dan anak-anakmu.”

“Lebih baik mati daripada hidup dalam kemusyrikan.”
Melihat sikap Masyitoh yang tetap teguh memegang keimanannya, Fir’aun memerintahkan kepada para pengawalnya agar menghadapkan semua keluarga Masyitoh kepadanya.

“Siapkan sebuah belanga besar, isi dengan air, dan masak hingga mendidih,” perintah Fir’aun lagi.
Ketika semua keluarga Siti Masyitoh telah berkumpul, Fir’aun memulai pengadilannya.

“Masyitoh, kamu lihat belanga besar di depanmu itu. Kamu dan keluargamu akan saya rebus. Saya berikan kesempatan sekali lagi, tinggalkan agama yang dibawa Musa dan kembalilah untuk menyembahku. Kalaulah kamu tidak sayang dengan nyawamu, paling tidak fikirkanlah keselamatan bayimu itu. Apakah kamu tidak kasihan padanya.”

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fir’aun, Siti Masyitoh sempat bimbang. Tidak ada yang dikhawatirkannya dengan dirinya, suami, dan anak-anaknya yang lain, selain anak bungsunya yang masih bayi. Naluri keibuannnya muncul. Ditatapnya bayi mungil dalam gendongannya. “Yakinlah Masyitoh, Allah pasti menyertaimu.” Sisi batinnya yang lain mengucap.

Ketika itu, terjadilah suatu keajaiban. Bayi yang masih menyusu itu berbicara kepada ibunya, “Ibu, janganlah engkau bimbang. Yakinlah dengan janji Allah.” Melihat bayinya dapat berkata-kata dengan fasih, menjadi teguhlah iman Siti Masyitoh. Ia yakin hal ini merupakan tanda bahwa Allah tidak meninggalkannya.

Allah pun membuktikan janji-Nya pada hamba-hamba-Nya yang memegang teguh (istiqamah) keimanannya. Ketika Siti Masyitoh dan keluarganya dilemparkan satu persatu pada belanga itu, Allah telah terlebih dahulu mencabut nyawa mereka, sehingga tidak merasakan panasnya air dalam belanga itu.

Demikianlah kisah seorang wanita shalihah bernama Siti Masyitoh, yang tetap teguh memegang keimanannya walaupun dihadapkan pada bahaya yang akan merenggut nyawanya dan keluarganya.

Ketika Nabi Muhammad Saw. isra dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, beliau mencium aroma wangi yang berasal dari sebuah kuburan. “Kuburan siapa itu, Jibril?” tanya baginda Nabi.

“Itu adalah kuburan seorang wanita shalihah yang bernama Siti Masyitoh,” jawab Jibril.

Seorang Wanita dan Tukang Besi


Ketika si tukang besi sedang duduk di rumahnya melepas lelah setelah seharian bekerja, tiba-tiba terdengar pintu rumahnya diketuk orang. Si tukang besi keluar untuk melihatnya, pandangannya menubruk pada sesosok wanita cantik yang tak lain adalah tetangganya.

“Saudaraku, aku menderita kelaparan. Jika bukan karena tuntutan agamaku yang menyuruh untuk memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), aku tidak akan datang ke rumahmu. Maukah engkau memberikan makanan padaku karena Allah?” Tutur wanita itu.

Ketika itu, memang tengah datang musim paceklik (kemarau). Sawah dan ladang mengering. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Padang rumput menjadi tandus hingga hewan ternak menjadi kurus dan akhirnya mati. Makanan menjadi langka, maka tak pelak kelaparan melanda sebagian besar penduduk desa itu. Hanya sebagian kecil yang masih bisa bertahan.


“Tidakkah engkau tahu bahwa aku mencintaim? Akan kuberi engkau makanan, tetapi engkau harus melayaniku semalam,” kata tukang besi itu.

Si tukang besi memang jatuh hati kepada tetangganya itu. Dia merayunya dengan berbagai cara dan taktik, namun tak juga berhasil meluluhkan hati wanita itu.
“Lebih baik mati kelaparan daripada durhaka kepada Allah,” ujar wanita itu lagi sambil berlalu menuju rumahnya.

Setelah dua hari berlalu, wanita itu kembali mendatangi rumah si tukang besi dan mengatakan hal yang sama. Demikian pula jawaban si tukang besi. Ia akan memberi makanan asalkan wanita itu mau menyerahkan dirinya. Mendengar jawaban yang sama, wanita itupun kembali ke rumahnya.
Dua hari kemudian, wanita itu datang lagi ke rumah tukang besi itu dalam keadaan payah. Suaranya parau, matanya sayu, dan punggungnya membungkuk karena menahan lapar yang tiada tara. Ia kembali mengatakan hal serupa. Begitu pula jawaban si tukang besi, sama dengan yang sudah-sudah. Wanita itu kembali ke rumahnya dengan tangan kosong untuk kali ketiga.
Ketika itulah, Allah memberikan hidayah-Nya kepada si tukang besi. “Sungguh celaka aku ini, seorang wanita mulia datang kepadaku, dan aku terus berlaku dzalim kepadanya,” tutur tukang besi dalam hatinya. “Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu dari perbuatanku dan aku tidak akan mengganggu wanita itu lagi selamanya.”

Si tukang besi itu bergegas mengambil makanan dan pergi ke rumah wanita itu. Diketuknya pintu rumah wanita itu. Tak lama berselang, kerekek…terlihat pintu terbuka dan muncullah sesosok wanita yang nampak kuyu. Melihat si tukang besi berdiri di depan pintu rumahnya, wanita itu bertanya, “Apa keperluanmu datang ke rumahku?”

“Aku bermaksud mengantarkan sedikit makanan yang aku punya. Jangan khawatir, aku memberinya karena Allah,” jawab si tukang besi itu.

“Ya Allah, jika benar apa yang dikatakannya, maka haramkanlah ia dari api di dunia dan akhirat,” tutur wanita itu seraya menengadahkan kedua tanganya ke langit.

Si tukang besi itu pulang ke rumahnya. Ia memasak makanan yang tersisa buat dirinya. Tiba-tiba secara tak sengaja bara api mengenai kakinya, namun kaki si tukang besi itu tidak terbakar. Bergegas ia menemui wanita itu lagi.

“Wanita yang mulia, Allah telah mengabulkan doamu,” ujar si tukang besi.
Seketika itu, wanita itu sujud syukur kepada Allah.

“Ya Allah engkau telah mewujudkan doaku, maka cabutlah nyawaku saat ini juga.” Terdengar suara lirih dari mulut wanita itu dalam sujudnya. Allah kembali mendengar doanya. Wanita itupun berpulang ke Rahmatullah dalam keadaan sujud.

Demikianlah kisah seorang wanita yang menjaga kehormatannya meskipun harus menahan rasa lapar yang tiada tara.


Setiap muslimah mestinya dapat mengambil i’tibar (pelajaran berharga) dari berbagai kisah wanita shalihah yang telah diuraikan di muka. Merekalah yang mestinya dijadikan suri tauladan dalam kehidupan keseharian, bukan para artis yang menawarkan gaya hidup hedonisme dan materialisme.